Showing posts with label Perpajakan. Show all posts
Showing posts with label Perpajakan. Show all posts

Wednesday 30 June 2021

akuntansi_akuntan

Mendaftar NPWP Istri atau Mengikuti NPWP Suami

Pajak adalah iuran yang harus dibayar wajib pajak kepada Negara. Namun untuk membayar pajak diperlukan NPWP.


NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah identitas yang dimiliki oleh wajib pajak dalam hal perpajakan. 


Tahukah anda persyaratan untuk mendapatkan NPWP itu sangat mudah, hanya menyiapkan KTP dan Cara pembuatannya pun juga terbilang mudah.


Namun ada pertanyaan timbul.!!! 


"Bagaimana jika seorang wanita yang bekerja, kemudian menikah. Apakah si wanita ini bisa membuat NPWP atau hanya perlu mengikuti NPWP suaminya?"


Dalam hal perpajakan pada dasarnya, satu keluarga cukup satu NPWP, dalam hal ini istri ikut NPWP suami. Namun demikian, istri dapat memiliki NPWP sendiri bila hidup berpisah atau melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Istri juga dapat memiliki NPWP sendiri bila memang berkehendak demikian.


Sesuai dalalm Pasal 2 ayat (3) PP 74 Tahun 2021 tersebut ditegaskan bahwa, wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tetapi tidak hidup berpisah atau tidak melakukan perjanjian pisah harta, maka hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan hak dan kewajiban suaminya. Dengan kata lain, NPWP sang istri ikut NPWP suaminya.


Jadi bila wanita kawin telah memiliki NPWP sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Dengan demikian, jelaslah bahwa NPWP istri bisa dihapuskan bila menikah.


Di dalam aturan perpajakan itu juga menyatakan bahwa, yang tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha. Misalnya suami istri berdomisili di Jakarta. Karena suami bekerja di Makassar, yang bersangkutan bertempat tinggal di Makassar sedangkan istri bertempat tinggal di Jakarta.


Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).


Contohnya: Bapak Amir yang telah memiliki NPWP 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Fitri yang belum memiliki NPWP. Ibu Fitri memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan kewajiban secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Fitri harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jendral Pajak untuk memperoleh NPWP dan diberi NPWP baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000


Dalam kasus wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya dan ia telah memiliki NPWP sebelum kawin maka NPWP yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh NPWP.


Contohnya: Ibu Anti memperoleh penghasilan dan telah memiliki NPWP dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Ibu Anti kemudian menikah dengan Pak Bambang yang telah memiliki NPWP 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Ibu Anti setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka Ibu Anti tidak perlu mendaftarkan lagi untuk memperoleh NPWP dan tetap menggunakan NPWPnya dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.


KESIMPULAN

Bahwa seorang wanita yang sudah menikah bisa menghapuskan NPWPnya kemudian mengikuti NPWP suaminya dan juga bisa membuat NPWP atau tidak perlu menghapus NPWPnya (tapi dengan artian dalam perpajakan suami istri pisah harta)


Begitulah teman-teman artikel tentang Mendaftar NPWP istri atau Mengikuti NPWP Suami. Jangan Lupa Follow ya Blognya untuk mengikuti Postingan dari kami. Terima Kasih.

Read More

Wednesday 17 March 2021

akuntansi_akuntan

Pengenaan Pajak Sewa Menyewa Terhadap Badan Dan Pribadi



Pajak adalah iuran yang wajib dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah. Di Indonesia memberikan kepada Wajib Pajak untuk menghitung sendiri pajak mereka. Hal ini karena di Indonesia menggunakan Self Asessemnent System.

Dalam perpajakan pengenaan pajak tergantung dari objeknya. Artinya pengenaan pajak atas nama badan dan pribadi itu berbeda. Seperti halnya dalam pemotongan terhadap jasa penyewaan. Jika itu badan akan dikenakan PPh 23 sedangkan jika itu pribadi akan dikenakan PPh final (Pasal 4 ayat 2).

Dalam pembahasan kali ini penulis akan membahas tentang pengenaan Pajak PPh Atas Sewa. Pajak ini ada 2 jenis pengenaan tarif, apakah itu pengenaan Pajak Final ataukah PPh 23.

PPh Sewa Untuk Badan

PPh pasal 23 adalah pajak yang dipungut oleh negara dan bisa dikreditkan oleh pelaku usaha dan PPh ini dikenakan atas sewa oleh Wajib Pajak Badan. Tarif yang digunakan adalah 2% dari DPP.

Contohnya , PT Kumogakure menyewakan mobilnya kepada PT Konohagakure sebesar Rp 5.000.000 belum termasuk PPN. Buatlah jurnal untuk PT Kumogakure dan PT Konohagakure.

Dalam soal diatas kita perlu melihat dulu siapa pelaku usahanya, kemudian menentukan PPh atas sewanya termasuk PPh Pasal 23 atau PPh Final.

Jawaban

Karena yang menyewakan adalah PT Kumogakure maka , perusahaan tersebut dikenakan PPh 23 atas sewa yang diberikan kepada PT Konohagakure sebesar Rp 5.000.000 X 2% = Rp 100.000. Perusahaan Kumogakure wajib menyetor Rp 100.000 ini kepada Negara dan melaporkannya. 

Jadi pencatatan Jurnal untuk PT Kumogakure:

(D) Kas/Bank                Rp 5.400.000                        

(D) PPh 23                    Rp    100.000

                (K) PPN Keluaran         Rp    500.000

                (K) Penghasilan Jasa    Rp 5.000.000

Jadi pencatatan Jurnal untuk PT Konohagakure:

(D) Biaya Sewa                Rp 5.400.000                        

(D) PPN Masukan            Rp    100.000

                (K) PPh 23                    Rp    500.000

                (K) Kas/Bank                Rp 5.000.000

PPh Sewa Untuk Pribadi

PPh final (pasal 4 ayat 2) adalah pajak yang dipungut dan tidak bisa dikreditkan. artinya setelah pemotongan tidak ada lagi proses lainnya. (Setelah pungut langsung selesai). Tarif yang digunakan untuk PPh ini adalah 10%.

Contohnya , Pak Itachi menyewakan mobilnya kepada Pak Shisui sebesar Rp 5.000.000 belum termasuk PPN. Buatlah jurnal untuk Pak Itachi dan Pak Shisui.

Dalam soal diatas kita perlu melihat dulu siapa pelaku usahanya, kemudian menentukan PPh atas sewanya termasuk PPh Pasal 23 atau PPh Final.

Jawaban

Karena yang menyewakan adalah Pak Itachi maka , perusahaan tersebut dikenakan PPh final atas sewa yang diberikan kepada Pak Shisui sebesar Rp 5.000.000 X 10% = Rp 500.000. Perusahaan Kumogakure wajib menyetor Rp 500.000 ini kepada Negara dan melaporkannya. 

Jadi pencatatan Jurnal untuk Pak Itachi:

(D) Kas/Bank                Rp 5.000.000                        

(D) PPh Final                    Rp    500.000

                (K) PPN Keluaran         Rp    500.000

                (K) Penghasilan Jasa    Rp 5.000.000

Jadi pencatatan Jurnal untuk Pak Shisui: 

(D) Biaya Sewa                Rp 5.000.000                        

(D) PPN Masukan            Rp    500.000

                (K) PPh Final                Rp    500.000

                (K) Kas/Bank                Rp 5.000.000

 

Kesimpulan

Pengenaan pajak sewa menyewa dapat dilihat dari siapa yang melakukannya. Jika Perusahaan yang melakukan transaksi, maka akan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%. Sedangkan jika pribadi yang melakukan transaksi maka akan dikenakan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat 2) sebesar 10%.


Demikian artikel tentang Pengenaan Pajak Sewa Menyewa Terhadap Badan Dan Pribadi. Sekian dan terima kasih. Jangan lupa follow dan share ya teman-teman. Semoga bermanfaat.

Read More

Thursday 1 October 2020

akuntansi_akuntan

Wajib Pajak Harus Memahami Perihal Ketentuan PTKP

Pajak adalah pungutan wajib dari rakyat untuk negara. Oleh sebab itu teman-teman harus mengetahui berapa sih penghasilan yang dimiliki baru dikenakan pajak. 

Setiap tahun kita sebagai warga negara Indonesia yang memliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) wajib melaporkan penghasilan kita kepada negara. Apakah itu yang berpenghasilan ataupun tidak berpenghasilan selama warga negara tersebut melakukan pekerjaan di Indonesia.

Untuk menghitung pajakn warga negara berdasarkan dari penghasilan, pemerintah memberlakukan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hal ini dilakukan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak bagi yang dikategorikan penghasilannya yang masih rendah dibandingkan dengan biaya hidupnya

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah penghasilan wajib pajak yang menjadi batas penghasilan yang tidak dikenakaln pajak. 
Salah satu komponen penting dalam perhitungan potongan gaji karyawan perusahaan adalah pajak penghasilan alias PPh 21. Tarif yang dikenakan dalam pajak jenis ini merupakan tarif progresif yang merujuk pada PTKP. Untuk itu perusahan perlu memahami perihal serba-serbi PTKP yang terbaru .



Untuk menentukan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka penghasilan neto setahun dikurangkan dengan penghasilan tidak kena pajak yang ditentukan berdasarkan yang melekat pada diri Wajib Pajak.
Berdasrkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, besarnya PTKP mulai tahun pajak 2016 adalah

Rp  54.000.000
Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi
Rp    4.500.000
Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
Rp  54.000.000
Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami misal:
·   Bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas yang tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yang belum dewasa
·  Bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai pemotong pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas
·     Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 pemberi kerja.
Rp    4.500.000
Tambahan setiap anggota keluarga sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

PTKP Pria/Wanita Lajang
PTKP Pria Kawin
PTKP Suami Istri Digabung
 TK/0
Rp 54.000.000
K/0
 Rp  58.500.000
K/I/0
 Rp   112.500.000
 TK/1
 Rp   8.500.000
K/1
 Rp   63.000.000
K/I/1
 Rp   117.000.000
 TK/2
 Rp 63.000.000
K/2
 Rp   67.500.000
K/I/2
 Rp   121.500.000
 TK/3
 Rp 67.500.000
K/3
 Rp   72.000.000
K/I/3
 Rp   126.000.000

·       Status PTKP ditentukan awal wahun per 1 Januari
·       Status K/I/… adalah PTKP atas penghasilan istri yang digabung dengan penghasilan suami.
·       Bagi karyawati kawin hanya berhak atas PTKP untuk diri sendiri sehingga statusnya TK/-0 dan tidak boleh ada tanggungan.
·       Karyawati tidak kawin berhak atas PTKP untuik dirinya sendiri dan boleh menanggung anggota keluarga.
·       Setiap tambahan tanggungan anggota keluarga sebesar Rp 4.500.000.


Setiap perusahaan atau wajib pajak harus betul-betul memahami perihal ketentuan PTKP 2018. Termasuk mengetahui pula jumlah tanggungan yang dimiliki oleh tiap-tiap karyawannya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan perhitungan PPh 21 yang menjadi salah satu komponen penting dalam perhitungan gaji karyawannya.

Demikian dari artikel tentang Wajib Pajak harus memahami perihal ketentuan PTKP. Semoga bermanfaat bagi teman-teman yang membacanya. Jangan Lupa di share ya !
Read More

Friday 24 April 2020

akuntansi_akuntan

5 Substansi Terkait Insentif dan Relaksasi di Bidang Perpajakan

Pandemi Covid-19 membuat semua negara di dunia menerapkan berbagai macam kebijakan untuk mengantisipasi Covid-19. Salah satunya adalah Negara Indonesia. Yang menerapkan kebijakan physikal Distancing. 


Pemerintah Indonesia juga menerapkan kebijakan di bidang keuangan Negara yang memberikan Insentif dan bidang relaksasi di bidang perpajakan yang di atur dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020. 

Insentif dan relaksasi di bidang perpajakan ini tujuannya untuk penanganan dan penanggulangan Covid-19, mendorong stimulus perekonomian dan penyesuaian belanja.

Berikut 5 substansi terkait insentif dan relaksasi di bidang perpajakan:

1.Penurunan Tarif PPh Badan


PPh Badan mengalami penurunan secara bertahap dari 25% menjadi 22% tahun 2020 dan 2021, 20% tahun pajak 2022, begitupun selanjutnya.

2.Penurunan Tarif PPh Badan Go Public


Pengurangan tarif 3% lebih rendah dengan tarif normal PPh Badan sehingga menjadi 19% tahun 2020 dan 2021, 17 % tahun 2022, begitupun selanjutnya. 

Aturan ini berlaku dengan persyaratan tertentu dengan 40% saham go publik.

3.Pemajakan Atas Transaksi Elektronik


Pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang yang tidak berwujud dan Jasa oleh platform LN.

Pengenaan Pajak atas SPLN yang memiliki significant economic presence di Indonesia dengan perdagangan melalui sistem elektronik.

4.Perpanjangan Jangka Waktu Permohonan administrasi Perpajakan 


Perpanjangan pengajuan keberatan oleh WP diperpanjang maksimal 6 bulan menjadi 9 bulan.

Memberikan waktu yang cukup bagi wajib pajak untuk menyiapkan dokumen beserta bukti pendukung bagi wajib pajak yang jatuh tempo pengajuan keberatannya pada periode kahar akibat pandemi Covid-19

5.Fasilitas Kepabeanan


Memberikan kewenangan kepada Menkeu untuk memberikan fasilitas kepabeanan selain yang diatur dalam pasal 25 ayat 1 dan pasal 26 ayat 1 pada Undang-Undang Kepabeanan (selain yang bersifat positve list)

Jika teman-teman memiliki pertanyaan silahkan isi di kolom komentar , jangan lupa di Follow ya, dan juga di Share 👍

Sumber :

Pajak.go.id
Pemahaman Penulis
Read More
akuntansi_akuntan

10 Substansi PERPPU Nomor 1 Tahun 2020



Impikasi pandemi COVID-19 telah berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu pemerintah perlu segera mengambil kebijakan dam langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas keuangan.

Dengan kondisi seperti apa yang terjadi sekarang ini telah memenuhi paramater sebagai kegentingan yang memaksa, oleh karena itu Pemerintah dalam hal ini Presiden menetapkan PERPPU nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian Nasional dan Stabilitas Keuangan. Peraturan ini mulai berlaku 31 Maret 2020.

Adapun Isi PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 Klik Disini

10 Substansi dalam PERPPU di atas :

1.     Terkait APBN:
  • Penyesuaian batasan defisit anggaran
  • Penyesuaian besaran mandatory spending
  • Penggunaan anggaran alternatif
  • Keuangan Daerah
  • Penerbitan pandemic bond dan pinjaman
2.     Insentif dan relaksasi di bidang perpajakan
3.     Program pemulihan ekonomi nasional
4.     Pelaksanaan dan pelaporan kebijakan
5.     Perluasan kewenangan KSSK dan ruang lingkup rapat KSSK
6.     Pemberian kewenangan bagi BI untuk dapat membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana dan pembelian /Repo SBN milil RPS
7.   Early INVOLVEMENT LPS dalam penangan Bank bermasalah serta peluasan sumber pendanaan  dan program penjaminan LPS
8.    Perluasan kewenangan pemerintah dalam rangka memberikan pinjaman kepada LPS
9.   Biaya dalam rangka pelaksanan kebijakan pendapatan Negara merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian Negara
10. Imunitas bagi anggota KSSK, Sekertaris KSSK, dan pejabat pegawai Kementrian Keuangan, BI, OJK, dan LPS berkaitan dengan pelaksanaan PERPPU.

Sumber : 
https://pajak.go.id/id/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-republik-indonesia-nomor-1-tahun-2020
Read More

Thursday 9 April 2020

akuntansi_akuntan

Contoh Kasus Pajak Tentang Angsuran Utang Pajak dan Penghapusan Sanksi Administrasi



Tax Day

Perusahaan Iwagakure diperiksa oleh Kantor Pajak dan baru minggu lalu sudah diterbitkan surat ketetapan  pajak kurang bayar yang jumlahnya cukup besar. Sebenarnya kekurangan bayar tersebut memang terjadi karena kesalahan perusahaan tersebut. Perusahaan sedang mengalami kesulitan likuiditas dan mengalami penurunan usaha . Apakah bisa dilakukan penundaan atau mengangsur utang pajak atas surat ketetapan tersebut?

Di dalam Pasal 10 ayat (2) UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) atau UU Nomor 28 Tahun 2007, diatur mengenai tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Untuk Teknisinya, mengenai permohonan atas tata cara pengangsuran pembayaran pajakdiatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK No.184.PMK/03/2007. Dijelaskan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjuauan Kembal, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah, serta Pajak Penghasilah 29 (setoran tahunan), kepada Direktur Jendral Pajak. Dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

               Baca Juga : Cara Menghitung PPh Pasal 21

Secara lebih teknis lagi, tata cara pengangsuran pajak ini diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008. Jadi Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar untuk mengangsur utang pajak, dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan diluar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. Permohonan Wajib Pajak tersebut harus diajukan secara tertulis paling lama sembilan hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, serta jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran.

Namun, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan ansuran pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, kecuali apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak menganggap tidak perlu. Bentuk jaminan dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposito. Wajib pajak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu sembilan hari kerja, harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran.

Keputusan atas permohonan setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang diajukan oleh Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jendral Pajak yang menerbitkan keputusan dalam jangka waktu tujuh harik kerja  setelah tanggal diterimanya permohonan.

Adapun bentuk keputusan yang dapat diberikan oleh Kepala KPP adalah:

  1. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
  2. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran sesuai dengan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
  3. Menolak permohonan Wajib Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur pembayaran pajak, kecuali untuk utang pajak berupa Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi bunga sebesar 2% perbulan sebagai mana dimaksud Pasal 19 ayat 2 yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran angsuran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Bunga tersebut dihitung berdasarkan saldo utang pajak dan ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak pada setiap tanggal jatuh tempo angsuran atau pada tanggak pembayaran.

Apabila teman-teman setuju dengan penjelasan artikel ini mohon ditulis di kolom komentar, dan apabila teman-teman tidak sepakat dengan artikelnya tulis juga di kolom komentar agar bisa dibahas bersama. Makasih atas kunjungannya ya teman-teman, Jangan lupa di share ya!!!
Read More

Followers